Salah Asuhan, Diskriminasi Pribumi Di Era Penjajahan Belanda

Novel berjudul 'Salah Asuhan' karya Abdoel Moeis yang terbit sejak jaman penjajahan Belanda, foto : istimewa 

Jakarta, Indonesia Terbit - Novel salah asuhan merupakan novel yang terbit pada zaman penjajahan Belanda. Novel tersebut adalah salah satu novel yang dapat diterbitkan pada zaman penjajahan karena pada zaman penjajahan tulisan seperti novel harus melalui sensor zaman penjajahan. 

Novel Salah Asuhan adalah satu di antara beberapa karya tulisan dari Abdoel Moeis. 

Diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka 1928, tahun di mana penjajah Belanda masih bercokol di Indonesia, sehingga tulisan yang bisa terbit hanya yang lolos sensor pemerintah Hindia Belanda saja. 

Balai Pustaka sendiri banyak menerbitkan buku-buku sastra hingga kini, namun di masa penjajahan, penerbitan tersebut diberi julukan ‘cocok untuk bacaan pribumi’. 

Tulisan yang boleh dibukukan hanya yang menggunakan bahasa melayu formal dan tidak menceritakan kekejaman kolonial. 

Salah Asuhan adalah novel yang berlatar belakang kehidupan pribumi di masa penjajahan Belanda yang penuh diskriminasi.

Salah Asuhan adalah novel yang berlatar belakang kehidupan pribumi di masa penjajahan Belanda yang penuh diskriminasi. 

Novel ini juga mengangkat permasalahan multi dimensi yang terjadi kala itu, mulai dari sistem perekonomian yang dijalankan serta budaya Eropa yang masuk dan memengaruhi kehidupan pribumi. 

Novel salah asuhan ditulis oleh Abdoel Moeis. Abdoel Moeis adalah salah satu Pahlawan Nasional yang lahir di Minangkabau pada 3 Juli 1886 dan meninggal pada 17 Juni 1959. 

Selain menjadi sastrawan Indonesia yang berpengaruh, ia juga adalah wartawan dan politikus yang turut memperjuangkan kemerdekaan RI. 

Kiprahnya adalah menjadi salah satu pengurus organisasi Sarekat Islam, juga anggota Volksraad atau Dewan Rakyat Hindia Belanda. Abdoel Moeis menamatkan sekolah ELS di daerah, lalu melanjutkan ke Stovia (Kedokteran) di Jakarta namun tidak menamatkannya karena sakit.

Pernah bekerja sebagai Klerk di Departemen Onderwijs en Eredienst, selama dua tahun. Ia lalu bekerja sebagai jurnalis di Bandung pada majalah Bintang Hindia, juga di surat kabar Belanda Preanger Bode dan majalah Neraca. Masuk menjadi Volksraad mewakili Central Sarekat Islam tahun 1918.

Lalu sempat difitnah menjadi provokator sehingga seorang pengawas Belanda tewas terbunuh. Abdoel Moeis lalu dipenjara. Ia juga mendorong didirikannya Technische Hooge School atau ITB sekarang, pada tahun 1918. 

Tulisan-tulisan Abdoel Moeis di media banyak mengkritik pemerintah Belanda, sehingga ia dilarang tinggal di Minangkabau dan diasingkan di Garut.

Permasalahan Dalam Novel 

Permasalahan yang ada dalam novel tersebut sebenarnya adalah permasalahan yang umum dilakukan oleh masyarakat ketika penjajahan. 

Tradisi enggan berkenalan dengan pribumi merupakan salah satu kebiasaan yang  sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat eropa ketika itu. 

Sebenarnya dari kisah novel ini merupakan salah satu kritik terhadap tradisi untuk berteman dengan golongan yang berada di bawah penjajah ketika itu. Sistem kasta seperti ini sudah menjadi suatu hal yang lumrah dalam kehidupan. 

Misalnya saja di Amerika ada juga doktrin bagi orang-orang untuk tidak boleh berteman dengan orang kulit hitam bahkan orang yang berkulit hitam dibunuh oleh orang yang kulit putih yang notabene adalah penguasa di negeri tersebut. 

Begitu juga dengan novel salah asuhan yang mana juga memandang pribumi sebagai kaum yang rendahan, miskin, tidak berpendidikan dan berpikiran maju. 

Banyak dari tulisan yang terbit pada zaman penjajahan yang mengkritik tentang perbedaan kasta yang dilakukan oleh para penjajah. 

Mereka kaum yang lebih tinggi dari segala aspek membuat mereka seakan-akan semena-mena terhadap pribumi. Begitu kritik yang dilakukan oleh para sastrawan ketika itu melalui karya sastra. 

Suara pribumi yang berada dalam cengkraman penjajah ketika itu membuat karya sastra adalah salah satu cara untuk melakukan kritik terhadap pemerintah.

Dari alur cerita novel ini yang mana tokoh Hanafi yang notabene adalah seorang pribumi tidak bisa mendapatkan orang Belanda yang notabene adalah salah satu bangsawan. 

Cinta yang dipisahkan oleh kasta tersebut yang membuta Hanafi tidak bersemangat dalam menjalani kehidupan. 

Banyak cara yang dilakukan mulai melakukan pernikahan dengan rapiah seorang gadis yang notabene adalah salah satu pribumi juga dan sederajat dengan hanafi. 

Sedangkan cinta Hanafi terhadap Corie yang sudah melekat sepanjang waktu membuat Hanafi seakan-akan menyalahkan keadaan karena asal Corie yang putri dari seorang Belanda sedangkan Hanafi walaupun bergaul dengan orang Belanda tetapi asal dan Hanafi seorang pribumi tidak bisa dihapuskan.

Cinta tidak bisa membuat seseorang bersatu tetapi berpisah dengan hal tersebut membuat mental seseorang terguncang. 

Aturan yang berlaku pada saat itu mungkin bisa terjadi di dunia nyata, betapa pedih ketika harapan yang ditompangkan seseorang kepada cinta yang tidak bisa saling membahagiakan. 

Rasa sakit yang dirasakan oleh hanafi tersebut bisa menjadikan pembelajaran untuk kita kedepan. 

Jangan pandang seseorang dari asal dan apa latar belakang yang dia miliki tetapi pandang orang tersebut dari sikap dia terhadap memperlakukan sesuatu. 

Kepedihan yang dirasakan oleh hanafi dengan alasan kita tidak sederajat untuk garis keturunan mengubah segala hal tentang kehidupan hanafi setelah tidak bersama Corie.

Kehidupan rumah tangga Hanafi dan Rapiah, rupanya tak berjalan mulus. Hanafi tidak merasa bahagia, meskipun dari hasil perkawinannya dengan Rapiah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Syafei. 

Hanafi beranggapan bahwa penyebabnya adalah Rapiah. Rapiah kemudian menjadi tempat segala kemarahan Hanafi. Meskipun Rapiah diperlakukan begitu oleh Hanafi, Rapiah tetap bersabar. 

Begitu juga dengan Rapiah yang dengan kesabaran yang utuh, menerima cinta Hanafi seutuhnya. Hal ini bisa dijadikan pelajaran juga bahwa kita mencari orang yang bisa membahagiakan kita bukan mencari orang yang kita buat bahagia. 

Karena belum tentu orang yang kita bahagiakan tersebut dapat bersama kita untuk selamanya. Orang bisa saja berubah kapan saja tetapi seseorang yang tulus ingin bersama kita, itulah orang yang akan kita cari. 

Suatu saat kita akan merasakan kehilangan yang amat mendalam seperti halnya hanafi yang jatuh sakit diakhir cerita. 

Hanafi yang sombong setelah menikah dengan Corie pada akhirnya dalam cerita tersebut membuat kita seakan-akan paham bahwa kekuatan cinta dapat dikalahkan oleh kebiasaan ketika itu. Kebiasaan menjadi pemenang diantara semua hal. 

Setelah tidak bersama Corie Hanafi seakan-akan tersadar bahwa Rapiah yang sabar tetap menjadi rumah untuk tujuan dia pulang.

Novel  ini secara tematik tidak lagi mempermasalahkan adat kolot yang sering sudah tidak sejalan lagi dengan kemajuan zaman, melainkan jelas hendak mempertanyakan kawin campur antar bangsa. 

Dilihat dari perkembangannya sejak Siti Nurbaya, tampak jelas adanya pergeseran tema, persoalannya tidak lagi kawin adat, kawin antarsuku, tetapi kawin antar bangsa. 

Ternyata persoalannya tidak sederhana, ia menyangkut perbedaan adat istiadat, tradisi, agama, budaya, serta sikap hidup yang tidak mudah ditinggalkan.

Demikian tulisan ini disampaikan oleh Abdul Jamil Al Rasyid, mahasiswa jurusan sastra Minangkabau di Universitas Andalas pada Minggu siang, 12 Januari 2025.


Kontributor : Lasman Simanjuntak

Post a Comment

Terimakasih sudah memberikan komentar anda

Lebih baru Lebih lama