Suasana bentrok pasca aksi demonstrasi di Jakarta, foto Istimewa (Indonesia Terbit) |
Jakarta, Indonesia Terbit - Gelombang kritik terhadap tindakan represif aparat kepolisian dalam menangani demonstrasi pada 25 dan 28 Agustus 2025 terus berdatangan. Sejumlah lembaga bantuan hukum menilai penggunaan kekuatan berlebihan oleh kepolisian telah mencederai hak konstitusional warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Rizky Argama menyebut, rangkaian aksi brutal aparat menunjukkan adanya pola penghalangan ruang demokrasi.
Menurutnya, tindakan aparat di lapangan tidak hanya sebatas penggunaan gas air mata dan meriam air, tetapi juga melibatkan pasukan khusus hingga kendaraan taktis untuk membubarkan massa.
“Aksi demonstrasi yang dilakukan masyarakat adalah reaksi atas kesewenang-wenangan penguasa dan kebijakan yang tidak adil. Namun, untuk kesekian kalinya polisi justru menanggapinya dengan kekerasan yang tidak proporsional,” ujar Rizky dalam keterangan tertulis, Jumat (29/8/2025).
Berdasarkan rekaman yang beredar di media sosial, kata dia, memperlihatkan adanya sweeping, pemukulan, hingga penganiayaan terhadap massa aksi, termasuk jurnalis. Sebanyak 600 orang pun ditangkap secara sewenang-wenang.
“Sebagian masih di bawah umur, dan mereka bahkan dibatasi akses terhadap bantuan hukum,” ujarnya.
Puncak tragedi terjadi ketika seorang pengemudi ojek daring tewas setelah terlindas mobil rantis polisi. Rizky pun menegaskan bahwa kasus tersebut harus diproses hukum secara transparan meskipun publik pesimistis, mengingat kecenderungan impunitas terhadap pelanggaran pidana oleh aparat.
“Inilah cermin kekosongan hukum kita, karena peran kejaksaan sangat terbatas dan seringkali tidak mampu menembus tembok impunitas kepolisian,” imbuhnya.
Untuk itu PSHK bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jentera melayangkan lima poin desakan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Presiden Prabowo Subianto.
Pertama, Kapolri harus menghentikan seluruh tindak kekerasan, termasuk penggunaan kekuatan berlebihan dalam menangani aksi demonstrasi.
Kedua, Kapolri harus menjamin akses bantuan hukum bagi seluruh demonstran yang ditangkap, serta segera membebaskan mereka.
Ketiga, Kapolri harus memastikan adanya proses hukum bagi setiap anggota kepolisian yang melakukan kekerasan dan memulihkan hak korban.
Keempat, Presiden sebagai atasan Kapolri segera menghentikan brutalisme aparat dan tindak membiarkan pelanggaran hukum serta hak asasi manusia (HAM) terus berlangsung.
Kelima, Presiden harus melakukan evaluasi menyeluruh atas kinerja kepolisian, sekaligus mendorong reformasi total terhadap kedudukan, kewenangan, dan fungsi kepolisian.
Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan juga mengecam keras tindakan kekerasan yang dilakukan aparat saat mengamankan demonstrasi. Ketua Pengurus LBH Keadilan, Abdul Hamim Jauzie mengatakan bahwa praktik seperti mencelakai massa dengan kendaraan taktis, menembakkan gas air mata, hingga melakukan penangkapan sewenang-wenang adalah pelanggaran HAM yang tidak bisa ditoleransi.
“Alasan apapun, termasuk batas waktu unjuk rasa, tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan kekerasan. Demonstran harus diperlakukan secara wajar,” tegas Hamim.
Hamim menjelaskan, seharusnya penegakan hukum dan penghormatan HAM berjalan beriringan. Karena itu, LBH Keadilan mendesak Presiden Prabowo untuk menegur Kapolri Jenderal Listyo dan memerintahkan penghentian aksi kekerasan aparat.
“Kapolri tidak boleh melindungi pelaku. Mereka harus dihukum berat agar ada efek jera dan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian tidak runtuh,” ujarnya.
Sementara itu, Kadiv Propam Polri Irjen Pol Abdul Karim menerangkan bahwa saat ini kepolisian sedang memeriksa tujuh anggota Satbrimob Polda Metro Jaya terkait insiden kendaraan rantis yang mencelakai seorang pengemudi ojek daring.
“Saat ini tujuh pelaku telah diamankan dan dalam proses pemeriksaan,” ungkap Karim.
Ketujuh anggota Satbrimob Polda Metro Jaya tersebut masing-masing berinisial Kompol C, Aipda M, Bripka R, Briptu B, Bripda M, Baraka Y, dan Baraka J. Yang diketahui berada di dalam mobil rantis tersebut.
Sumber : Dilansir dari Hukum Online
Posting Komentar
Terimakasih sudah memberikan komentar anda